PRO KONTRA KASUS SATINAH, DAN OPINI HUKUM DIINDONESIA

by - 5/01/2014 01:38:00 AM

PRO DAN KONTRA KASUS TKI SATINAH

Arab Saudi, 16 Juni 2007. Kala itu, hari masih pagi saat Satinah bertengkar dengan majikannya bernama Nura Al Garib di dapur.  Pertengkaran itu bermula dari hal sepele sebetulnya bagi orang Indonesia, tapi masalah besar di Arab Saudi. Satinah berbicara dengan anak laki-laki Nura Al Garib. Budaya Saudi memang  tidak membolehkan perempuan dan laki-laki yang bukan muhrim berada dalam satu ruangan yang sama.  Apalagi kalau sampai kedua orang yang bukan muhrim itu berbicara. Nura kemudian memukul kepala Satinah menggunakan penggaris. Tak cukup dengan itu, kepala Satinah dibenturkan ke dinding. Merasa nyawanya terancam, Satinah berusaha meraih benda apapun untuk membalas penganiyaan majikannya itu.
Tangan Satinah berhasil meraih kayu penggilingan adonan roti. Tak tunggu lama, dia memukul Nura. Salah satu pukulan itu mengenai tengkuk Nura Al Garib. Sang Majikan pingsan. Keluarga yang panik kemudian melarikan Nura ke rumah sakit. Namun, nyawa perempuan tua itu tak selamat setelah sempat koma. Satinah kabur. Rupanya, perempuan 41 tahun itu sempat meraih tas majikannya sebelum kabur. Ada uang di dalam tas senilai SR37.970 atau Rp122 juta. Hal ini makin memperburuk nasib Satinah. Satinah kemudian menyerahkan diri ke kantor polisi setempat dan mengakui perbuatannya. Sejak saat itu Satinah berada di Penjara Gassem.  Kemudian, dalam persidangan syariah tingkat pertama pada 2009 sampai kasasi 2010, Satinah divonis hukuman mati atas tuduhan melakukan pembunuhan berencana pada majikan perempuannya.  Awalnya Satinah direncanakan dihukum mati Agustus 2011, namun ditunda. Menurut data dari Kementerian Luar Negeri, tenggat waktu eksekusi Satinah itu sudah ditunda lima kali, yakni pada Juli 2011, 23 Oktober 2011, Desember 2012, Juni 2013, dan Februari 2014. terakhir, tenggat waktu itu ditentukan 3 April 2014. Sepekan sebelum tenggat waktu ini berakhir, sejumlah kelompok masyarakat Indonesia menggalang dana untuk menebus uang diyat yang diminta keluarga Nura Al Garib, yakni Rp21,2 miliar.
Sekarang kita bahas disini. Siapa yang kontra dan siapa yang pro. Saya sendiri kontra untuk Satinah dibebaskan dari hukumannya dengan membayar uang diyat. Karena sudah sangat jelas bahwa Satinah memang bersalah dia telah mengakui kesalahan dengan membunuh dan mencuri uang majikannya. Apakah layak kita membela seorang pembunuh dan pencuri habis-habisan hingga menghabiskan uang negara sampai 21,2 miliar. Dilihat dari sudut pandang resiko pekerjaan. Setiap pekerjaan, apapun itu pasti memiliki resiko. Mau tidak mau harus siap kalau bertemu dengan manjikan yang tidak beres. Seharusnya ketika mendapatkan majikan yang karakternya tidak baik, lakukan sesuatu dan bukan malah membunuh walaupun itu membela diri sekalipun. Lebih baik melapor kekedutaan atau ke badan penyaluran TKI. Dan tidak hanya TKI saja yang menyalurkan pundi-pundi rupiah kepada Negara. Rakyat Indonesia banyak yang taat untuk membayar pajak. Uang sebanyak 21,2 miliar terlalu banyak untuk membebaskan seorang pembunuh dan pencuri. Sedangkan di Indonesia masih banyak yang memerlukan uang itu untuk biaya pengobatan, pendidikan dan banyak lagi yang bersifat positif.
Lalu dilihat dari kasus TKI yang sebelumnya yaitu Darsem. TKI yang lolos dari hukum pancung di Arab Saudi. Setelah kembali ke Indonesia dan menerima dana lebih dari 1,2 miliar dari pemirsi TVOne. Sumbangan untuk Darsem dari pemirsa TVOne semula dimaksudkan untuk membantu membayar diyat bagi ibu satu anak itu sebesar 4,7 miliar. Namun diyat itu kemudian dibayar oleh pemerintah. Sehingga dana pemirsa TVOne yang terkumpul, diserahkan semua kepada Darsem. Keluarga Darsem saat ini berlimpah harta. Selain membeli sawah dan membangun rumah, Darsem juga terlihat mengoleksi perhiasan emas. Masih banyak juga TKI yang menunggu hukuman mati diluar negeri. Seandainya saja masing-masing TKI bisa dibebaskan dengan membayar diyat sejumlah yang diminta oleh majikan Satinah, maka berapakah uang yang harus dibayarkan pemerintah untuk itu?

PENEGAKAN HUKUM DI INDOESIA

Hukum di Indonesia itu bagaimana ?
  1. Ketidakpercayaan Masyarakat pada Hukum 

Masyarakat meyakini bahwa hukum lebih banyak merugikan mereka,dan sedapat mungkin dihindari. Bila seseorang melanggar peraturan lalu lintas misalnya, maka sudah jamak dilakukan upaya “damai” dengan petugas polisi yang bersangkutan agar tidak membawa kasusnya ke pengadilan . Memang dalam hukum perdata, dikenal pilihan penyelesaian masalah dengan arbitrase atau mediasi di luar jalur pengadilan untuk menghemat waktu dan biaya. Namun tidak demikian hal nya dengan hukum pidana yang hanya menyelesaikan masalah melalui pengadilan. Di Indonesia, bahkan persoalan pidana pun masyarakat mempunyai pilihan diluar pengadilan. Pendapat umum menempatkan hakim pada posisi “tertuduh” dalam lemahnya penegakan hukum di Indonesia, namun demikian peranan pengacara, jaksa penuntut dan polisi sebagai penyidik dalam hal ini juga penting. Suatu dakwaan yang sangat lemah dan tidak cermat, didukung dengan argumentasi asal-asalan, yang berasal dari hasil penyelidikan yang tidak akurat dari pihak kepolisian, tentu saja akan mempersulit hakim dalam memutuskan suatu perkara.
Kelemahan, penyidikan dan penyusunan dakwaan ini kadang bukan disebabkan rendahnya kemampuan aparat maupun ketiadaan sarana pendukung, tapi lebih banyak disebabkan oleh lemahnya mental aparat itu sendiri. Beberapa kasus menunjukkan aparat memang tidak berniat untuk melanjutkan perkara yang bersangkutan ke pengadilan atas persetujuan dengan pihak pengacara dan terdakwa, oleh karena itu dakwaan disusun secara sembarangan dan sengaja untuk mudah dipatahkan.
Beberapa kasus pengadilan yang memutus bebas terdakwa kasus korupsi yang menyangkut pengusaha besar dan kroni mantan presiden Soeharto menunjukkan hal ini. Terdakwa terbukti bebas karena dakwaan yang lemah.

2. Penyelesaian Konflik dengan Kekerasan 
Penyelesaian konflik dengan kekerasan terjadi secara sporadis di beberapa tempat di Indonesia. Suatu persoalan pelanggaran hukum kecil kadang membawa akibat hukuman yang sangat berat bagi pelakunya yang diterima tanpa melalui proses pengadilan. Pembakaran dan penganiayaan pencuri sepeda motor, perampok, penodong yang dilakukan massa beberapa waktu yang lalu merupakan contoh. Menurut Durkheim masyarakat ini menerapkan hukum yang bersifat menekan (repressive). Masyarakat menerapkan sanksi tersebut tidak atas pertimbangan rasional mengenai jumlah kerugian obyektif yang menimpa masyarakat itu, melainkan atas dasar kemarahan kolektif yang muncul karena tindakan yang menyimpang dari pelaku. Masyarakat ingin memberi pelajaran kepada pelaku dan juga pada memberi peringatan anggota masyarakat yang lain agar tidak melakukan tindakan pelanggaran yang sama.
Pada beberapa kasus yang lain, masyarakat menggunakan kelompoknya untuk menyelesaikan konflik yang terjadi.
Mulai dari skala “kecil” seperti kasus Matraman yang melibatkan warga Palmeriam dan Berland, kasus tawuran pelajar, sampai dengan kasus-kasus besar seperti Ambon, Sambas, Sampit, dan sebagainya. Pada kasus Sampit, misalnya, konflik antara etnis Dayak dan Madura yang terjadi karena ketidakadilan ekonomi tidak dibawa dalam jalur hukum, melainkan diselesaikan melalui tindakan kelompok. Dalam hal ini, kebenaran menurut hukum tidak dianut sama sekali, masing-masing kelompok menggunakan norma dan hukumnya dalam menentukan kebenaran serta sanksi bagi pelaku yang melanggar hukum menurut versinya tersebut. Tidak diperlukan adanya argumentasi dan pembelaan bagi si terdakwa. Suatu kesalahan yang berdasarkan keputusan kelompok tertentu, segera divonis menurut aturan kelompok tersebut.

3. Pemanfaatan Inkonsistensi Penegakan Hukum untuk Kepentingan Pribadi 
Dalam beberapa kasus yang berhasil ditemukan oleh media cetak, terbukti adanya kasus korupsi dan kolusi yang melibatkan baik polisi, kejaksaan, maupun hakim dalam suatu perkara. Kasus ini biasanya melibatkan pengacara yang menjadi perantara antara terdakwa dan aparat penegak hukum. Fungsi pengacara yang seharusnya berada di kutub memperjuangkan keadilan bagi terdakwa , berubah menjadi pencari kebebasan dan keputusan seringan mungkin dengan segala cara bagi kliennya. Sementara posisi polisi dan jaksa yang seharusnya berada di kutub yang menjaga adanya kepastian hukum, terbeli oleh kekayaan terdakwa. Demikian pula hakim yang seharusnya berada ditengah-tengah dua kutub.

You May Also Like

0 comments