PRO KONTRA KASUS SATINAH, DAN OPINI HUKUM DIINDONESIA
PRO
DAN KONTRA KASUS TKI SATINAH
Arab Saudi, 16
Juni 2007. Kala itu, hari masih pagi saat Satinah bertengkar dengan majikannya
bernama Nura Al Garib di dapur. Pertengkaran
itu bermula dari hal sepele sebetulnya bagi orang Indonesia, tapi masalah besar
di Arab Saudi. Satinah berbicara dengan anak laki-laki Nura Al Garib. Budaya Saudi
memang tidak membolehkan
perempuan dan laki-laki yang bukan muhrim berada dalam satu ruangan yang sama. Apalagi kalau sampai kedua orang yang bukan
muhrim itu berbicara. Nura kemudian memukul kepala Satinah menggunakan
penggaris. Tak cukup dengan itu, kepala Satinah dibenturkan ke dinding. Merasa
nyawanya terancam, Satinah berusaha meraih benda apapun untuk membalas
penganiyaan majikannya itu.
Tangan Satinah
berhasil meraih kayu penggilingan adonan roti. Tak tunggu lama, dia memukul
Nura. Salah satu pukulan itu mengenai tengkuk Nura Al Garib. Sang Majikan
pingsan. Keluarga yang panik kemudian melarikan Nura ke rumah sakit. Namun,
nyawa perempuan tua itu tak selamat setelah sempat koma. Satinah kabur.
Rupanya, perempuan 41 tahun itu sempat meraih tas majikannya sebelum kabur. Ada
uang di dalam tas senilai SR37.970 atau Rp122 juta. Hal ini makin memperburuk
nasib Satinah. Satinah kemudian menyerahkan diri ke kantor polisi setempat dan
mengakui perbuatannya. Sejak saat itu Satinah berada di Penjara Gassem. Kemudian, dalam persidangan syariah tingkat pertama pada 2009 sampai
kasasi 2010, Satinah divonis hukuman mati atas tuduhan melakukan pembunuhan
berencana pada majikan perempuannya. Awalnya Satinah
direncanakan dihukum mati Agustus 2011, namun ditunda. Menurut data dari
Kementerian Luar Negeri, tenggat waktu eksekusi Satinah itu sudah ditunda lima
kali, yakni pada Juli 2011, 23 Oktober 2011, Desember 2012, Juni 2013, dan Februari
2014. terakhir,
tenggat waktu itu ditentukan 3 April 2014. Sepekan sebelum tenggat waktu ini
berakhir, sejumlah kelompok masyarakat Indonesia menggalang dana untuk menebus
uang diyat yang diminta keluarga Nura Al Garib, yakni Rp21,2 miliar.
Sekarang kita bahas disini. Siapa yang kontra dan siapa yang pro. Saya
sendiri kontra untuk Satinah dibebaskan dari hukumannya dengan membayar uang
diyat. Karena sudah sangat jelas bahwa Satinah memang bersalah dia telah
mengakui kesalahan dengan membunuh dan mencuri uang majikannya. Apakah layak
kita membela seorang pembunuh dan pencuri habis-habisan hingga menghabiskan
uang negara sampai 21,2 miliar. Dilihat dari sudut pandang resiko pekerjaan. Setiap
pekerjaan, apapun itu pasti memiliki resiko. Mau tidak mau harus siap kalau
bertemu dengan manjikan yang tidak beres. Seharusnya ketika mendapatkan majikan
yang karakternya tidak baik, lakukan sesuatu dan bukan malah membunuh walaupun
itu membela diri sekalipun. Lebih baik melapor kekedutaan atau ke badan
penyaluran TKI. Dan tidak hanya TKI saja yang menyalurkan pundi-pundi rupiah
kepada Negara. Rakyat Indonesia banyak yang taat untuk membayar pajak. Uang sebanyak
21,2 miliar terlalu banyak untuk membebaskan seorang pembunuh dan pencuri. Sedangkan
di Indonesia masih banyak yang memerlukan uang itu untuk biaya pengobatan,
pendidikan dan banyak lagi yang bersifat positif.
Lalu dilihat dari kasus TKI yang sebelumnya yaitu Darsem. TKI yang lolos
dari hukum pancung di Arab Saudi. Setelah kembali ke Indonesia dan menerima
dana lebih dari 1,2 miliar dari pemirsi TVOne. Sumbangan untuk Darsem dari
pemirsa TVOne semula dimaksudkan untuk membantu membayar diyat bagi ibu satu
anak itu sebesar 4,7 miliar. Namun diyat itu kemudian dibayar oleh pemerintah. Sehingga
dana pemirsa TVOne yang terkumpul, diserahkan semua kepada Darsem. Keluarga Darsem
saat ini berlimpah harta. Selain membeli sawah dan membangun rumah, Darsem juga
terlihat mengoleksi perhiasan emas. Masih banyak juga TKI yang menunggu hukuman
mati diluar negeri. Seandainya saja masing-masing TKI bisa dibebaskan dengan
membayar diyat sejumlah yang diminta oleh majikan Satinah, maka berapakah uang
yang harus dibayarkan pemerintah untuk itu?
PENEGAKAN HUKUM DI INDOESIA
Hukum di Indonesia itu
bagaimana ?
- Ketidakpercayaan Masyarakat pada Hukum
Masyarakat meyakini bahwa hukum lebih banyak merugikan mereka,dan
sedapat mungkin dihindari. Bila seseorang melanggar peraturan lalu lintas
misalnya, maka sudah jamak dilakukan upaya “damai” dengan petugas polisi yang
bersangkutan agar tidak membawa kasusnya ke pengadilan . Memang dalam hukum
perdata, dikenal pilihan penyelesaian masalah dengan arbitrase atau mediasi di
luar jalur pengadilan untuk menghemat waktu dan biaya. Namun tidak demikian hal
nya dengan hukum pidana yang hanya menyelesaikan masalah melalui pengadilan. Di
Indonesia, bahkan persoalan pidana pun masyarakat mempunyai pilihan diluar
pengadilan. Pendapat umum menempatkan hakim pada posisi “tertuduh” dalam
lemahnya penegakan hukum di Indonesia, namun demikian peranan pengacara, jaksa
penuntut dan polisi sebagai penyidik dalam hal ini juga penting. Suatu dakwaan
yang sangat lemah dan tidak cermat, didukung dengan argumentasi asal-asalan,
yang berasal dari hasil penyelidikan yang tidak akurat dari pihak kepolisian,
tentu saja akan mempersulit hakim dalam memutuskan suatu perkara.
Kelemahan, penyidikan dan penyusunan dakwaan ini kadang bukan disebabkan
rendahnya kemampuan aparat maupun ketiadaan sarana pendukung, tapi lebih banyak
disebabkan oleh lemahnya mental aparat itu sendiri. Beberapa kasus menunjukkan
aparat memang tidak berniat untuk melanjutkan perkara yang bersangkutan ke
pengadilan atas persetujuan dengan pihak pengacara dan terdakwa, oleh karena
itu dakwaan disusun secara sembarangan dan sengaja untuk mudah dipatahkan.
Beberapa kasus pengadilan yang memutus bebas terdakwa kasus korupsi yang menyangkut pengusaha besar dan kroni mantan presiden Soeharto menunjukkan hal ini. Terdakwa terbukti bebas karena dakwaan yang lemah.
2. Penyelesaian Konflik dengan Kekerasan
Beberapa kasus pengadilan yang memutus bebas terdakwa kasus korupsi yang menyangkut pengusaha besar dan kroni mantan presiden Soeharto menunjukkan hal ini. Terdakwa terbukti bebas karena dakwaan yang lemah.
2. Penyelesaian Konflik dengan Kekerasan
Penyelesaian konflik dengan kekerasan terjadi secara sporadis di
beberapa tempat di Indonesia. Suatu persoalan pelanggaran hukum kecil kadang
membawa akibat hukuman yang sangat berat bagi pelakunya yang diterima tanpa
melalui proses pengadilan. Pembakaran dan penganiayaan pencuri sepeda motor,
perampok, penodong yang dilakukan massa beberapa waktu yang lalu merupakan
contoh. Menurut Durkheim masyarakat ini menerapkan hukum yang bersifat menekan
(repressive). Masyarakat menerapkan sanksi tersebut tidak atas pertimbangan
rasional mengenai jumlah kerugian obyektif yang menimpa masyarakat itu, melainkan
atas dasar kemarahan kolektif yang muncul karena tindakan yang menyimpang dari
pelaku. Masyarakat ingin memberi pelajaran kepada pelaku dan juga pada memberi
peringatan anggota masyarakat yang lain agar tidak melakukan tindakan
pelanggaran yang sama.
Pada beberapa kasus yang lain, masyarakat menggunakan kelompoknya untuk menyelesaikan konflik yang terjadi.
Pada beberapa kasus yang lain, masyarakat menggunakan kelompoknya untuk menyelesaikan konflik yang terjadi.
Mulai dari skala “kecil” seperti kasus Matraman yang melibatkan
warga Palmeriam dan Berland, kasus tawuran pelajar, sampai dengan kasus-kasus
besar seperti Ambon, Sambas, Sampit, dan sebagainya. Pada kasus Sampit,
misalnya, konflik antara etnis Dayak dan Madura yang terjadi karena
ketidakadilan ekonomi tidak dibawa dalam jalur hukum, melainkan diselesaikan
melalui tindakan kelompok. Dalam hal ini, kebenaran menurut hukum tidak dianut
sama sekali, masing-masing kelompok menggunakan norma dan hukumnya dalam
menentukan kebenaran serta sanksi bagi pelaku yang melanggar hukum menurut
versinya tersebut. Tidak diperlukan adanya argumentasi dan pembelaan bagi si
terdakwa. Suatu kesalahan yang berdasarkan keputusan kelompok tertentu, segera
divonis menurut aturan kelompok tersebut.
3. Pemanfaatan Inkonsistensi Penegakan Hukum untuk Kepentingan Pribadi
3. Pemanfaatan Inkonsistensi Penegakan Hukum untuk Kepentingan Pribadi
Dalam beberapa kasus yang berhasil ditemukan oleh media cetak,
terbukti adanya kasus korupsi dan kolusi yang melibatkan baik polisi,
kejaksaan, maupun hakim dalam suatu perkara. Kasus ini biasanya melibatkan
pengacara yang menjadi perantara antara terdakwa dan aparat penegak hukum.
Fungsi pengacara yang seharusnya berada di kutub memperjuangkan keadilan bagi
terdakwa , berubah menjadi pencari kebebasan dan keputusan seringan mungkin
dengan segala cara bagi kliennya. Sementara posisi polisi dan jaksa yang
seharusnya berada di kutub yang menjaga adanya kepastian hukum, terbeli oleh
kekayaan terdakwa. Demikian pula hakim yang seharusnya berada ditengah-tengah
dua kutub.
0 comments